Sabtu, 13 Juli 2013

Cap Ekstrem Kanan di Masa Orde Baru, Stempel Teroris di Era Kini

Cap Ekstrem Kanan di Masa Orde Baru, Stempel Teroris di Era Kini
13 juli 2013
Densus Pemburu Teroris
Densus Pemburu Teroris
Akhir-akhir ini penangkapan terhadap para aktivis Islam oleh Densus 88 kian gencar. Kelompok Islam menyebut otak dari Densus 88 adalah Goris Mere yang Nasrani.

Sebenarnya ini adalah lagu lama kaset kusut. Ini adalah pengulangan kelakuan aparat pada masa Orde Baru. Kalau dulu mendapat stempel ektrem kanan, sekarang dicap teroris.
Bagaimana penangkapan terhadap aktivis Islam pada masa Orde Baru?
Orde Baru (Orba) adalah orde yang bertekad melaksanakan pembangunan untuk nantinya menjadi ideologi pembangunan sebagaimana ditulis Adam Scwarz dalam A Nation in Waiting.
Pada masa awal Orba ada dua kubu dalam hal kebijakan strategi pembangunan. Kubu pertama adalah kubu yang menekankan pada pemerataan, dimotori oleh Hatta. Seperti kita ketahui Hatta dengan gagasan koperasinya menitikberatkan pembangunan pada aspek pemerataan.
Yang kedua adalah kubunya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, beserta kawan-kawannya yang lulusan University of California Berkeley, sehinggasejumlah kalangan pengamat menjulukinya sebagai ‘Mafia Berkeley’.
Kubu kedua ini sangat mengagungkan pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan dengan harapan nantinya akan terjadi trickle down effect (efek menetes/merembes ke bawah) alias otomatis terjadi pemerataan.
Widjojo Nitisastro
Prof Dr Widjojo Nitisastro
Prof Dr Widjojo Nitisastro
Maka, gagasan dari kubu pertama tidak dipakai. Kalaupun dipakai hanyalah sebagai ‘pelengkap penderita’ saja. Gagasan kedua dipakai karena para lulusan ‘Berkeley’ itu dipercaya penuh oleh Presiden Soeharto untuk mengobati luka-luka masa Orde Lama. Apalagi menurut Assar Lindbeck dalam bukunya ‘Kritik atas Ekonomi Kiri Baru’ terbitan LP3ES (1988), saat mereka kuliah di Berkeley yang trendy adalah kecenderungan pemikiran perkembangan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, yang dikritik dengan keras oleh aliran ‘Kiri Baru’.
Yang dipakai oleh pemerintah Orba pada awalnya (dan bahkan sampai sekarang walaupun kadar penekanannya sudah agak sedikit berbeda) adalah gagasan dari kubu kedua. Alasannya, menurut Nurcholish Madjid dalam ‘Politik Pembangunan’, “Kalau kita hendak membagi-bagikan kue pembangunan harus kita buat dulu kuenya.”
Pemerintah Orba beralasan bahwa ekonomi negara sangat morat-marit. Inflasi mencapai 600%, utang negara sangat bertumpuk. Untuk itu, perlu secepatnya diadakan stabilisasi ekonomi dengan tiang penyangga utamanya berupa stabilitas politik.
Maka setiap potensi konflik diredam sedemikian rupa secara terus-menerus agar kekuatan laten yang disebut pemerintah Orba sebagai ekstrem kiri dan ekstrem kanan, tak muncul.
Terhadap ekstrem kiri, yang dilakukan Orba berupa: pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya sekaligus pernyataan sebagai organisasi terlarang. Pelarangan terhadap ajaran Marxisme-Leninisme ini berlaku di seluruh wilayah RI.
Terhadap golongan Islam, tindakannya malah lebih banyak lagi. Secara jelas Yudi Latif dalam buku ‘Mencari Islam’ (Mizan 1990) membeberkan langkah-langkah yang merugikan umat Islam, yaitu:
1. Penolakan rehabilitasi Masyumi;
2. Dikeluarkannya peraturan Mendagri No 12/1969 dan PP No 6/1970 tentang monoloyalitas pegawai negeri yang mengakibatkan ‘marginalisasi’ pegawai negeri dari partai Islam;
3. Pemaksaan fusi (parpol) dengan UU No 3/1973;
4. Terbitnya UU Perkawinan 1974 yang merupakan de-Islamisasi kaidah-kaidah kemasyarakatan karena banyak bertentangan dengan hukum-hukum perkawinan Islam;
5. Terbentuknya MUI sebagai perwakilan tunggal umat Islam pada 1975 yang lebih sering merupakan alat legitimasi pemerintah;
6. Disahkannya aliran kepercayaan dan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) melalui Tap MPR No II/1978 yang merupakan usaha pemerintah untuk memperlemah potensi alternatif umat Islam.
Presiden Soeharto sejak awal menjalankan suatu model kepemimpinan sangat khas, yang merupakan hasil penjumlahan dari:
(1) Cara berpikirnya yang sangat Jawa;
(2) Kapabilitasnya yang tak terbantahkan sebagai seorang perwira militer yang cakap dan kaya pengalaman lapangan;
(3) Kecanggihannya sebagai aktor politik dalam melakukan manajemen kekuasaan, sebagaimana ditulis Eep Saefulloh Fatah dalam ‘Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia’.
Otaknya Ali Moertopo
Ali Moertopo
Ali Moertopo
Otak pemberangusan gerakan politik Islam adalah Letnan Jenderal Ali Moertopo. Langkah-langkahnya yang cukup ketahuan dan transparan cukup banyak. Penjelasan berikut ini adalah sebagian dari padanya.
Pada tahun 1970 Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo telah ‘digarap’ atau dibajak oleh J Naro, ‘diotaki’ oleh Ali Moertopo.
Kemudian pada tahun 1971 PSII di bawah pimpinan M Ch Ibrahim ‘digarap’ oleh Drs Syarifudin Harahap, juga diotaki oleh Ali Moertopo. Perihal pembajakan ini dimasukkan dalam berita TVRI, yaitu media massa resmi pemerintah Indonesia. (Bincang-bincang dengan Dahlan Ranuwihardjo).
Selanjutnya pada Peristiwa 15 Januari (Malari) 1974, Ali Moertopo menuduh dan memfitnah umat Islam. Dikatakan bahwa eks PSI dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut.
Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Hariman Siregar diadili, tidak ada sedikit pun fakta dan tak Seorang pun eks Masyumi terlibat di situ.
Belakangan, ada pengakuan dari mendiang Jenderal Soemitro dalam buku Heru Cahyono, ‘Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari’, bahwa justru Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi Peristiwa Malari.
Kemudian dalam sidang pengadilan Ismail Pranoto di Jawa Timur pada 1978, yang dituduh membentuk Komando Jihad, terbukti yang terungkap di pengadilan bahwa kegiatan Ismail Pranoto adalah atas perintah dan biaya Ali Moertopo dalam rangka membentuk Front Pancasila Anti Komunis.
Dengan terungkapnya masalah ini tim pembela meminta kepada majelis Hakim untuk menghadirkan Ali Moertopo sebagai saksi. Tetapi majelis hakim menolaknya, sehingga Ismail Pranoto dijatuhi hukuman seumur hidup.
Dengan peristiwa ini, jelas bahwa Ali Moertopo telah menjebak Ismail Pranoto (bekas DI/TII) untuk kemudian dihancurkan.
Aksi Ali Moertopo berikutnya adalah pada Peristiwa Lapangan Banteng, 1982. Ali yang ketika itu menjadi Menteri Penerangan dalam briefingnya di hadapan pimpinan teras Departemen Penerangan dua hari setelah kejadian telah menuduh dan memfitnah umat Islam yang lagi-lagi disebut ekstrem kanan.
Ali Moertopo menuduh KH Yusuf Hasyim dari PPP dan Ali Sadikin dari Petisi 50 berada di balik peristiwa rusuh di Lapangan Banteng saat kampanye Golkar berlangsung menjelang pemilu 1982 itu.
Tetapi setelah pengadilan memeriksa para terdakwa yang dituduh terlibat peristiwa Lapangan Banteng terbukti tidak ada satu pun anggota PPP ataupetisi 50 yang terlibat, bahkan menjadi saksi pun tidak.
Lanjutannya, Benny Moerdani
Benny Moerdani
Benny Moerdani
Pasca 1982 peran Ali Moertopo digantikan oleh Jenderal Benny Moerdani. Pada tahun 1983-1985 Benny melakukan penggarapan terhadap ummat Islam dengan memuluskan perintah Soeharto yaitu bahwa semua ormas dan parpol harus berasaskan Pancasila.
Garapan pertama Benny adalah organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Organisasi pelajar ini memiliki sejarah harum di masa lalu. Beberapa kadernya menghiasi kepemimpinan umat Islam pada 1990-an.
Gagasan asas tunggal Pancasila mengharuskan mereka menjadikan organisasi PII berjuang di ‘bawah tanah’. Sebab tahun 1985 PII merencanakan kongres yang isinya menolak Pancasila sebagai asas, tetapi kongres itu tidak mendapat izin.
Pada 17 Juli 1987, tanggal terakhir pendaftaran ulang ormas-ormas, PII tidak ikut didaftarkan. Maka sejak saat itu PII menjadi organisasiilegal atau organisasi ‘bawah tanah’. Maka PII pun dicap sebagai ekstrem kanan oleh pemerintah Orba.
‘Kakak’-nya PII yaitu HMI juga digarap oleh Benny Moerdani. Hanya bedanya HMI tidak menjadi organisasi ilegal melainkan pecah menjadi dua. HMI Diponegoro 16 yang menerima Pancasila sebagai asas dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak Pancasila.
Penerimaan asas tunggal Pancasila oleh HMI berjalan alot. Pada mulanya, dalam persiapan Kongres 1983 sudah ada utusan-utusan pemerintah yang alumni HMI atau penyebutan oleh anggota HMI saat itu adalah ‘antek-antek pemerintah’ dan ‘hilang ke HMI-annya’, contohnya Menteri Pemuda & Olahraga (Menpora) Abdul Gafur.
Terjadilah konflik antara anggota HMI dan alumni HMI. Benih-benih konflik ini semakin bersemi dan terbuka dalam kongres berikut di Padang, tahun 1986. Menyadari potensi reaktif HMI yang radikal, pemerintah mulai menggarap anggota-anggotanya yang dianggap ‘akomodatif’.
Melalui berbagai ‘lobbying’ yang dilakukan oleh Abdul Gafur dan Akbar Tanjung, mereka berhasil meyakinkan HMI untuk mencari ‘jalan selamat’.Dalam sidang pleno PB HMI 1983/1985 tanggal 5 April 1985 di Ciloto Jawa Barat, HMI menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam kongresnya di Padang tahun 1986. Pelaksanaan kongres ini sempat tertunda beberapa bulan karena adanya conditioning oleh pemerintah.
Kemudian tokoh-tokoh akomodatif diberi lampu hijau oleh pemerintah dan tokoh-tokoh yang dianggap garis keras seperti Abdullah Hehamahua dan Eggy Sudjana diberi lampu merah.
Terpilihlah Saleh Khalid sebagai ketua umum PB HMI. Persoalan tidak berhenti sampai di situ karena keputusan ini ditolak oleh banyak sekal ianggota HMI. Mereka berpendapat bahwa penetapan Pancasila sebagai asas tunggal diterima tidak melalui kongres.
Mereka yang menolak asas tunggal Pancasila membentuk ‘HMI Tandingan’, yaitu HMI MPO dan mencoba ‘mengadili’ pengurus HMI ‘bentukan’ pemerintah. Sejak saat itulah muncul ‘pengurus tandingan’ pada banyak cabang HMI di Indonesia. Sejak itu pula HMI MPO disebut ekstrem kanan.
Tahun 1984 meletus peristiwa Tanjung Priok. Selain kondisi masyarakat yang memang sangat tidak puas terhadap pemerintah dan kehadiran para penceramah yang yang dianggap keras, unsur rekayasa dan provokasi juga terlihat (walaupun masih misteri sampai saat ini), maka meledaklah Peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984.
Menarik pula peristiwa sesudahnya, yaitu kasus ‘lembaran putih’, surat protes yang dikeluarkan oleh Petisi 50 dan ditandatangani oleh sejumlah tokoh Islam dan para Mubaligh yang dianggap keras.
‘Lembaran putih’ ini dijadikan alasan oleh Benny Moerdani untuk menangkapi penceramah-penceramah yang dianggap garis keras seperti AM Fatwa, Abdul Qadir Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardie, dan lain-lain. Mereka juga dicap sebagai ekstrem kanan. Menurut majalah Panji Masyarakat yang terbit pasca persidangan, persidangan ini mirip dagelan.
Beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok, tanggal 4 Maret 1985, timbul peristiwa peledakan dua kantor BCA yang mengakibatkan banyak korban yang tewas. Di malam Natal dua gereja di Malang, Jawa Timur, mendapat serangan bom. Sebulan kemudian, tepatnya pada tahun baru 1986, 9 Stupa Candi Borobudur diledakkan.
Hal yang lucu adalah yang dituduh sebagai pelaku pengeboman ini antara lain Hussein Al Habsyi, seorang mubaligh yang tuna netra. Bagaimana mungkin seorang tuna netra yang berjalan atau berlari sebelum bom meledak saja susah (apalagi di Candi Borobudur yang banyak sekali tangganya), dituduh meledakkan bom. Pelaku pengeboman ini juga dicap ekstrem kanan.
Pada 1987 di Aceh muncul barisan jubah putih dipimpin Teuku Bantaqiyah. Gerakan ini mencita-citakan ‘tegaknya Islam sedunia’. Bulan Mei 1987, bertepatan dalam suasana Ramadhan, dengan berjalan kaki di desa Blang Beuradeh, Beutung Aseuh, Aceh Barat, mereka membunuhi orang Cina yang dijumpai di jalan serta memaksa tutup warung-warung yang buka di siang hari. (Tempo, 18 Februari 1989, hal 26). Mereka juga dicap sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan ekstrem kanan.
Soeharto
soeharto
soeharto
Kemudian terjadi peristiwa Lampung. Gerakan ini meletus ke permukaan pada Februari 1989, dengan membunuh beberapa anggota ABRI (TNI). Sedangkan di pihak rakyat Lampung jatuh 27 korban, termasuk Anwar alias Warsidi, yang disebut sebagai pemimpin gerakan. Pemerintah menyebut pelaku peristiwa ini sebagai Gerakan Pengacau Keamanan dan ekstrem kanan.
Lantas muncul kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan berubah menjadi arena ‘killing field’. Dan sederet kasus penindasan umat Islam lainnya di era Orba yang kini berlanjut atas nama “terorisme”.
Mengapa Soeharto mempertahankan orang-orang seperti Ali Moertopo dan Benny Moerdani? Agar Soeharto dianggap pahlawan yang bisa mengerem tindakan Benny dan Ali.
Terbukti kemudian umat Islam yang menjadi korban langsung atau tidak langsung sampai sekarang tak mengarahkan kebencian itu kepada Soeharto, melainkan kepada Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Apalagi setelah Soeharto ‘naik haji’ dan tampil takbiran di malam Lebaran.**********CATATAN AGUNG PRIBADI–Historivator–
dikutip bebas dari:http://ruangjuang.wordpress.com 

KH Ahmad Dahlan: Berjuang Melawan Politik Kristenisasi dan Freemasonry

KH Ahmad Dahlan: Berjuang Melawan Politik Kristenisasi dan Freemasonry

13 JULI 2013
ad1Kauman
Kampung Kauman, Yogyakarta, pada masa lalu dikenal sebagai basis santri, ulama, dan kaum ningrat. Masyarakatnya dikenal religius dan santun.

Kata Kauman, menurut sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Adaby Darban, berarti “Tempat Para Penegak Agama”.
Di kampung ini berkumpul para ulama, penghulu keraton dan para ketib masjid. Keberadaan Masjid Gede Kauman yang didirikan pada 1773 menjadi bukti sejarah identitas Kauman hingga kini.
Kampung Kauman pada masa lalu juga memiliki hubungan yang erat dengan kampung-kampung lain yang menjadi basis para santri di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Kampung Kauman inilah, Muhammad Darwis bin KH Abu Bakar bin KH Sulaiman dilahirkan. Muhammad Darwis yang belakangan berganti nama menjadi KH Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1868.
Garis keturunannya adalah para ulama di lingkungan keraton. Ayahnya seorang khatib di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. Sedangkan ibunya, Siti Aminah, adalah putri dari seorang penghulu Kesultanan Yogyakarta. Silsilah keluarga Dahlan sendiri sampai kepada Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) yang juga dikenal sebagai salah satu dari sembilan wali.
Sebagai anak yang lahir di lingkungan ulama dan keraton, maka pada usia 23 tahun, Dahlan muda sudah menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia berangkat ke Tanah Suci, bahkan sambil menimba ilmu di sana.
Di Makkah Al-Mukarramah inilah ia banyak membaca kitab, terutama kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama pembaru yang kemudian dikenal sebagai penggerak harakah at-tajdid (gerakan pembaruan).
Di Makkah Al-Mukarramah pula, Ahmad Dahlan berkenalan dengan ide-ide Pan-Islamisme yang saat itu marak diperbincangkan, karena upaya dominasi Kristen-Barat yang berusaha menguasai negeri-negeri Islam, khususnya pasca jatuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki.
Karenanya, Ahmad Dahlan ketika itu banyak bersentuhan dengan tulisan-tulisan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin Al-Afghani. Bahkan, Ahmad Dahlan pula yang membawa Majalah Al-Urawatul Wutsqa dan Al-Manar yang ia ‘selundupkan’ lewat perjalanan via kapal yang merapat di Pelabuhan Tuban, Jawa Timur.
ad2Pemikiran-pemikiran dalam majalah-majalah dan buku bacaan yang dibawa Kiai Dahlan dari Timur Tengah itulah yang kemudian banyak mempengaruhi pemikirannya terutama dalam bidang tajdid (pembaruan), sehingga Muhammadiyah yang dibidani oleh Kiai Dahlan disebut sebagai Harakah at-Tajdid (Gerakan Pembaruan).
Pada saat itu, bacaan-bacaan dari Timur Tengah dilarang, karena dianggap oleh Belanda membawa ajaran Pan-Islamisme yang menyuarakan penentangannya terhadap penjajahan di negara-negara Muslim.
Udara Pembaharuan
Dalam pertemuan tahunan ibadah haji di Tanah Makkah, tokoh-tokoh Islam dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Nusantara, membincangkan upaya untuk menyelamatkan negeri-negeri Muslim dari kolonialisme negara-negara kafir. Kiai Ahmad Dahlan terlibat dalam ide-ide itu selama mukim di Makkah.
J. Vredebregt dalam tulisan berjudul ”The Hadji” seperti dikutip W. Poespoprodjo menyatakan bahwa kontak langsung dengan Arabia mengalirkan pemikiran-pemikiran ke Indonesia. ”Udara” Asia Barat (Timur Tengah) menghembuskan sikap-sikap baru pada orang Jawa, yakni sebutan bagi orang-orang Nusantara yang melaksanakan ibadah haji.
Arabia tak hanya menjadi tempat berkumpul dan bersatunya umat Islam yang naik haji pada masa itu, tetapi tempat berkumpulnya para ahli-ahli politik dari berbagai dunia Islam, untuk saling bertemu dan berembuk soal politik dan rencana-rencana mereka.
Di Makkah juga mereka mengadakan konsultasi dan saling meminta nasihat, kemudian pulang dengan semangat baru untuk melawan penjajahan yang dilakukan para penjajah Kristen.
Kontak langsung dengan Arabia melalui pertemuan dalam ibadah haji di Makkah menimbulkan ketakutan tersendiri bagi penjajah terhadap munculnya fanatisme yang digerakkan lewat usaha-usaha membangun persaudaraan Muslim dunia.
Karena itu, usaha menghalang-halangi orang pribumi untuk melaksanakan ibadah haji dilakukan lewat Ordonansi Haji (Peraturan Haji). Larangan berhaji juga diberlakukan untuk para Pangreh Pradja, Sultan, regent, dan elit-elit penguasa lokal lainnya.
Karenanya, tak heran jika elit-elit di Jawa pada masa lalu, terutama mereka yang berasal dari keraton dan priayi yang menjadi kepanjangan tangan kolonial, tak ada yang melaksanakan ibadah haji.
Boedi Oetomo & Masoon
Sepulang dari Makkah, KH Ahmad Dahlan bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo pada 1909. Namun keberadaanya dalam organisasi yang berada dalam pengaruh kuat Gerakan Freemason ini tak lama.
Kiai Dahlan melihat Boedi Oetomo tak mempunyai kepedulian terhadap Islam. Para aktivisnya ketika itu lebih kental mengamalkan kebatinan, dibandingkan menjalankan ajaran-ajaran Islam.
Sejak awal berdiri, Boedi Oetomo sudah didekati oleh kelompok Freemason, yang pada masa lalu disebut oleh orang Jawa sebagai “Gerakan Kemasonan”. Ketua pertama Boedi Oetomo, Raden Mas Tirtokoesoemo, adalah seorang Mason, begitu pun ketua-ketua selanjutnya.
Selama di Boedi Oetomo, Kiai Dahlan pernah berupaya mengadakan pengajian keislaman, namun usaha itu ditolak oleh para anggota lainnya yang kebanyakan para penganut kejawen.
Kiai Dahlan juga gencar melakukan dakwah kepada tokoh-tokoh lain di kalangan Kemasonan dan Kristen, seperti Dirk van Hinloopen Labberton (Tokoh Theosofi-Freemasonry) dan Van Lith (Tokoh Katolik Serikat Jesuit), juga dikalangan elit keraton Jawa seperti Ki Ageng Soerjomentaram.
Pembelaan Islam
Pada masa itu, kelompok kebatinan-kejawen dan sekular seperti para aktivis Boedi Oetomo memang seringkali menyerang ajaran-ajaran Islam. Bahkan, pelecehan terhadap ajaran Islam dilakukan secara terbuka lewat rapat-rapat umum (openbare) dan media massa.
Inilah yang juga menjadi keprihatinan Kiai Dahlan, sehingga ketika ramai-ramainya Nabi kaum Muslimin dihina oleh kelompok tersebut, KH Ahmad Dahlan bersama para tokoh Islam lainnya terlibat dalam organisasi Tentara Kandjeng Nabi Muhammad yang bertujuan membela kemurnian Islam.
Melawan Masoon dan Kristenisasi
Sebagai seorang Muslim yang berilmu, KH Ahmad Dahlan pada waktu itu sangat prihatin dengan maraknya sekolah-sekolah netral (neutrale school) yang bercorak netral agama dan mendapat dukungan pemerintah kolonial Belanda.
Selain itu, ia juga prihatin dengan menjamurnya sekolah-sekolah yang dikelola oleh misi Kristen dan kelompok Freemasonry. Ia khawatir, banyak anak-anak Muslim yang masuk dalam sekolah tersebut sehingga rusak akidahnya. Ia juga miris dengan banyaknya kaum Muslimin yang masih hidup dalam kekurangan, sehingga hanya berpikir bagaimana bisa makan, tanpa memikirkan pendidikan dan masa depan.
Keprihatinan KH Ahmad Dahlan terekam dalam penelitian yang dilakukan oleh sejarawan senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku“Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe”.
Dalam buku ini, dijelaskan keprihatinan KH Ahmad Dahlan dengan tumbuh suburnya pendidikan netral bercorak barat, yang dikelola oleh Gerakan Kemasonan.
Selain itu, ia juga prihatin dengan maraknya sekolah-sekolah Kristen yang mendapat subsidi pemerintah Belanda, yang kerap melakukan upaya kristenisasi. Semua sekolah-sekolah ini, selain mendapat dukungan pemerintah kolonial, juga mendapat dukungan elit pemerintahan setempat yang kebanyakan sudah berada dalam pengaruh Gerakan Kemasonan (Freemasonry).
Dukungan pemerintah kolonial terhadap sekolah-sekolah milik Gerakan Kemasonan dan Kristen adalah upaya untuk mendirikan sekolah pribumi yang mampu bersaing dengan pesantren yang menjadi basis pendidikan umat Islam.
Tujuan pendidikan netral yang didirikan oleh Gerakan Kemasonan dan menjamurnya sekolah-sekolah Kristen tak lain adalah upaya mematikan peran pesantren.
Pendidikan netral bertujuan menumbuhkan jiwa loyalitas masyarakat pribumi terhadap pemerintah kolonial atau mengubah anak-anak elit Jawa menjadi ”bangsawan holland denken” (bangsawan yang berorientasi kebelandaan).
Karena itu, untuk mendapatkan kaki tangan yang setia bagi pemerintah kolonial dalam bidang pemerintahan dan jaksa, dibuatlah sekolah pamong praja, Opleiding School voor Indische Ambtenaren (OSVIA).
Karena prihatin dengan sekolah-sekolah yang membawa misi anti-Islam itu, KH Ahmad Dahlan kemudian mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912, yang secara tegas menonjolkan identitas keislamannya.
Mendirikan Muhammadiyah
Muhammadiyah mempunyai tujuan: Pertama, ”Menjabarkan pengadjaran Agama Kandjeng Nabi Muhammad sallallahu Alaihi Wasallam kepada pendoedoek boemipoetra di dalam residentie Djokjakarta”. Kedua, ”Memadjukan hal agama anggauta-anggautanya”.
Fresh Green Muhammadiyah 1366 px
Sebab-sebab berdirinya Muhammadiyah selain faktor internal, yaitu umat Islam tidak lagi memegang teguh tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan merajalelanya kemusyrikan, juga disebabkan faktor eksternal, yaitu kesadaran akan bahaya yang mengancam akidah umat Islam yang disebabkan oleh upaya Kristenisasi yang marak saat itu.
Faktor eksternal lainnya adalah, merebaknya kebencian di kalangan intelektual saat itu yang menganggap Islam sebagai ajaran kolot, tidak sesuai zaman. Dan yang terpenting dari sebab berdirinya Muhammadiyah adalah upaya untuk membentuk masyarakat dimana di dalamnya benar-benar berlaku ajaran dan hukum Islam.
Dengan berdirinya Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan beberapa aktivis Islam lainnya berusaha melakukan dakwah dalam bidang pengajaran dan membendung usaha-usaha Kristenisasi yang didukung oleh pemerintah kolonial lewat kebijakan Kerstening Politiek (Politik Kristensiasi) yang dimulai pada tahun 1910 oleh kelompok konservatif di Nederland dan dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg.
Di antara kebijakan Kerstening Politiek adalah dikeluarkannya ”Sirkuler Minggu” dan ”Sirkuler Pasar” oleh Gubernur Jenderal pada 1910. SirkulerMinggu menegaskan bahwa tidak patut mengadakan perayaan kenegaraan pada hari Minggu. Kegiatan pemerintahan pada hari Minggu diliburkan. Sirkuler Pasar melarang diadakannya hari pasaran pada hari Minggu.
Kebijakan ini berlanjut sampai hari ini, sehingga di Indonesia yang mayoritas Muslim, hari liburnya itu Minggu, bukan hari Jumat. Inilah di antara keberhasilan Politik Kristenisasi.
Kiprah KH Ahmad Dahlan dalam membendung arus Kristenisasi dan Gerakan Freemasonry juga dijelaskan oleh Dr. Alwi Shihab dalam disertasinya yang kemudian dibukukan dan diberi judul“Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia”.
Alwi menjelaskan, bahwa Freemasonry di Indonesia digerakkan oleh orang-orang Kristen yang sadar diri dan sangat peduli terhadap penyebaran Injil. Mereka melakukan upaya Kristenisasi, termasuk tentu saja mempropagandakan ajaran-ajaran Freemasonry.
Alwi Shihab memaparkan, ”Lembaga ini (Freemason, pen) telah berhasil menggaet berbagai kalangan Indonesia terkemuka, dan dengan demikianmempengaruhi berbagai pemikiran berbagai segmen masyarakat lapisan atas… Merasakan bahwa perkembangan Freemasonry dan penyebaran Kristen saling mendukung, kaum Muslim mulai merasakan munculnya bahaya yang dihadapi Islam… Dalam upayanya menjaga dan memperkuat iman Islam di kalangan Muslim Jawa, (Ahmad) Dahlan bersama-sama kawan seperjuangannya mencari jalan keluar dari kondisi yang sangat sulit ini. Untuk menjawab tantangan ini, lahirlah gagasan mendirikan Muhammadiyah. Dari sini, berdirinya Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari keberadaan dan perkembangan pesat Freemasonry.”
Selain jawaban terhadap upaya Gerakan Kemasonan dan Kerstening Politik, berdirinya Muhammadiyah juga sebagai respon dari berbagai pelecehan terhadap Islam yang dilakukan oleh para aktivis kebangsaan yang tergabung dalam Boedi Oetomo.
Dengan bahasa sindiran, Muhammadiyah menyatakan, ”Jika agama berada di luar Boedi Oetomo, maka sebaliknya Politik berada di luar Muhammadiyah.” Demikian khittah perjuangan Muhammadiyah pada awal-awal berdirinya.
Begitulah kiprah perjuangan KH Ahmad Dahlan dalam membendung Kristenisasi dan Freemasonry di Indonesia, dengan mendirikan lembaga pendidikan yang bercorak Islam.
Sudah sepatutnya, generasi pewaris perjuangan KH Ahmad Dahlan saat ini, yang menjadi kader Persyarikatan Muhammadiyah, meniru ketegasan ulama tersebut, terutama dalam mencegah upaya-upaya kelompok yang merusak akidah! (Artawijaya)******

Rabu, 10 Juli 2013

RUU Pendidikan Kedokteran Buka Akses Bagi Masyarakat Miskin

RUU Pendidikan Kedokteran Buka Akses Bagi Masyarakat Miskin

 Kontributor: Tim dakwatuna 



kedokteran



Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran yang disahkan pada rapat paripurna DPR Kamis tanggal 11 Juli ini, diharapkan  memberikan akses yang terbuka bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk bisa mengikuti pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi.
Demikian disampaikan Anggota Komisi X DPR Rohmani di Jakarta, Rabu (10//7)
Menuut Rohmani, Hal itu tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) RUU ini yang menyatakan bahwa seleksi penerimaan calon mahasiswa (kedokteran dan kedokteran gigi) menjamin adanya kesempatan bagi calon mahasiswa dari daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya, kesetaraan gender, dan kondisi masyarakat yang berpenghasilan rendah.
“RUU ini juga telah mendesain keberpihakan bagi para mahasiswa yang memenuhi syarat tertentu untuk memperoleh beasiswa dan bantuan biaya pendidikan, seperti tertulis dalam Pasal 32 dan Pasal 33 RUU ini,” jelasnya.
Rohmani melanjutkan, Instrumen beasiswa ini pun didesain dalam kerangka program pemerataan penempatan dokter dengan kewajiban ikatan dinas untuk daerahnya.
“Bagi masyarakat miskin RUU ini juga membuka kesempatan untuk mendapatkan bantuan biaya pendidikan tanpa kewajiban mengikat dalam rangka memenuhi program afirmasi. Hal ini dinyatakan dalam pasal 33 ayat (3),” terang Rohmani.
Tak hanya itu, adanya ketentuan soal penetapan biaya pendidikan kedokteran yang harus ditanggung mahasiswa harus dilakukan dengan persetujuan Menteri, menjadi instrumen untuk mencegah praktek komersialisasi biaya pendidikan kedokteran yang selama ini memang sangat mahal, seperti termaktub dalam pasal 52 ayat (2).
Beberapa rumusan dalam RUU yang memberikan akses kepada masyarakat berpenghasilan rendah ini, memang menjadi harapan bagi seluruh masyarakat yang ingin menikmati pendidikan kedokteran yang bermutu dan terjangkau,” tutupnya. (sbb/dkw)
dikutip dari:  http://www.dakwatuna.com/2013/07/10/36565/ruu-pendidikan-kedokteran-buka-akses-bagi-masyarakat-miskin/#axzz2YWCS2Ayl 

Selasa, 09 Juli 2013

sejarah: antara mesir dan indonesia

Atas Desakan Ikhwanul Muslimin, Mesir Jadi Negara Pertama Akui Kemerdekaan Indonesia

Written By Admin on Senin, 08 Juli 2013 | 21.25

Pendiri & Pemimpin Ikhwanul Muslimin Hasan Al Banna bersama Sutan Syahrir
Sebelum tanggal 22 MARET 1946 Indonesia selalu diklaim Belanda sebagai masalah dalam negeri negara penjajah itu. Belanda tetap mengklaim Indonesia sebagai wilayah jajahannya.
Sebelum 22 MARET 1946 belum lengkap syarat negara Indonesia secara de jure walaupun secara de facto Indonesia sudah berdiri sejak 17 Agustus 1945.
Sebelum 22 MARET 1946, negara-negara di luar Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mau ikut campur urusan Indonesia karena dianggap sebagai masalah dalam negeri Belanda.

Sebelum 22 MARET 1946, dunia internasional belum mau mengurusi masalah Indonesia walaupun terjadi peperangan di Indonesia dan banyak korban jiwa.
Sebelum 22 MARET 1946, delegasi Indonesia seperti Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Soedjatmoko, LN Palar, tidak boleh masuk ke Sidang Majelis Umum PBB.


Apa yang terjadi pada 22 Maret 1946? Itu adalah tanggal ketika ada sebuah negara mengakui kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya. Negara itu adalah Mesir. Bahkan setahun sebelum kemerdekaan diproklamirkan, Palestina, melalui Mufti Besarnya, Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini sudah menyatakan dukungannya untuk Indonesia.
Pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ dari Syaikh Amin Al-Husaini ke seluruh dunia Islam untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.

Sejak Mesir dan Palestina mengakui dan mendukung kemerdekaan Indonesia, negara-negara di Timur Tengah berduyun-duyun mengakui kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya itu, India pun kemudian mengikuti langkah Mesir dan Palestina.

Selain kepiawaian Haji Agus Salim untuk melobi negara-negara Timur Tengah, juga karena dukungan dari gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah pada umumnya dan Mesir pada khususnya.

Berawal dari Mansur Abu Makarim, seorang informan Indonesia yang bekerja di Kedutaan Belanda di Kairo,  Mesir yang membaca di Majalah Vrij Netherland yang memberitakan bahwa Negara Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian memberitahukannya kepada koran-koran dan radio di Mesir.

Rakyat Mesir dan anggota-anggota organisasi Islam menyambut gembira. Koran-koran dan radio Mesir mengatakan bahwa ini adalah awal kebangkitan di dunia Islam. Juga dinyatakan ini adalah awal dari kemerdekaan negara-negara di dunia Islam untuk terbebas dari belenggu penjajahan negara-negara Barat.
Pada 16 Oktober 1945 sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab dengan inisiatif sendiri membentuk ‘Lajnatud Difa’i'an Indonesia’ (Panitia Pembela Indonesia). Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir dan dipimpin oleh Hasan Al Banna saat itu menjadi unsur utama gerakan ini.

Sejak itu Ikhwanul Muslimin sering mengadakan demo besar-besaran mendesak pemerintah Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Para kelasi kapal yang bekerja di kapal-kapal Inggris banyak yang melakukan pemogokan bahkan berhenti bekerja dan mengajukan tuntutan kepada pemerintah Inggris supaya berhenti membantu Belanda.

Bahkan ada mahasiswa Indonesia yaitu Mohammad Zein Hassan yang bekerja di kapal Inggris di Tunisia, berhenti bekerja di kapal Inggris itu dan berjalan kaki dari Tunisia ke Mesir.

Ketika ditanya kenapa ia berjalan kaki sejauh itu, Zein Hassan menjawab, “Seluruh perusahaan transportasi dari Tunisia ke Mesir adalah milik Inggris dan ulama-ulama di Mesir mengharamkan bekerjasama dengan Inggris yang membantu Belanda menghalang-halangi kemerdekaan Indonesia!”

Saat itu Ikhwanul Muslimin juga membuka ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Mesir untuk menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran dan majalah milik Ikhwan.

Ketika terjadi pertempuran Surabaya 10 November 1945 dan banyak koran Indonesia memberitakan, Ikhwanul Muslimin dan gerakan Islam lainnya mengadakan shalat ghaib berjamaah di banyak tempat di Mesir.

Atas desakan ikhwanul Muslimin dan gerakan Islam lainnya akhirnya Negara Mesir di bawah pimpinan Raja Farouk ketika itu mengakui kemerdekaan Indonesia pada 22 Maret 1946. Setelah itu pemerintah Mesir mengirimkan utusan khususnya yang membawa surat pengakuan itu untuk menemui Presiden Soekarno di ibukota RI, Yogyakarta.


Ini adalah perjuangan berat karena saat itu Indonesia diblokade Belanda. Perlu keberanian dan keterampilan khusus seperti John Lie untuk menembus blokade Belanda (lihat tulisan penulis dihttp://sejarah.kompasiana.com/2011/02/04/pahlawan-nasional-dari-etnis-tionghoa-refleksi-imlek-2011/).
Ketika Belanda melakukan agresi militer pertama pada 1947, para buruh anggota Ikhwanul Muslimin sering mencegat kapal-kapal Belanda di Terusan Suez yang saat itu dinyatakan milik internasional.

Ketika kapal Belanda Volendam mendarat di Port Said, beberapa motor boat yang dikendarai buruh pelabuhan dan anggota-anggota Ikhwanul Muslimin, mengelilingi kapal itu dan mencegah kapal-kapal lain mendekat dan menyuplai air minum untuk kapal Belanda tersebut.

Pemerintah Mesir juga menyalurkan bantuan lunak berupa uang kepada pemerintahan Indonesia yang kas-nya masih kosong. Sungguh sebuah bantuan yang sangat berarti. Hal ini kemudian diikuti oleh negara-negara Timur Tengah lainnya.


Jadi Peran Mesir yang dipelopori oleh Ikhwanul Muslimin sangatlah besar dan berarti buat Indonesia. Maka, sangatlah wajar kalau pemerintah dan rakyat Indonesia saat ini membantu Mesir dan Palestina dalam menyelesaikan masalah mereka karena hubungan historis yang sangat kuat. Di Mesir juga ada Jalan Ahmad Soekarno yang diambil dari nama Presiden Pertama Republik Indonesia. (salam-online)
dikutip dari:http://pkskelapadua.blogspot.com/2013/07/atas-desakan-ikhwanul-muslimin-mesir.html?

Senin, 08 Juli 2013

Muhammadiyah: Anggaran sidang isbat Rp 9 miliar, itu duit rakyat

Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengusulkan agar Kementerian Agama tidak menggelar sidang isbat untuk menentukan awal bulan Ramadan. Menurutnya, sidang isbat hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.

"Sekarang ini belum dua derajat ketinggian bulan nanti ketika matahari terbenam, seharusnya nyatakan saja. Karena tidak terpenuhi maka tidak perlu melakukan rapat isbat yang katanya itu mahal sekali anggarannya sampai Rp 9 miliar, itu dana rakyat," kata Din di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta, Senin (8/7).

Din menambahkan, sidang isbat yang digelar sore ini hanya sia-sia. "Sebenarnya Kementerian Agama tidak perlu rapat isbat hari ini, karena Kemenag mematok minimal dua derajat," ujarnya.

Din menyarankan, sebaiknya pemerintah mengumumkan saja secara terus terang jika ketinggian hilal pada saat matahari terbenam pada 8 Juli belum di atas dua derajat. Dengan begitu, Kemenag sudah tahu puasa akan jatuh pada Rabu (9/7) mendatang.

"Daripada menghabis-habiskan uang rakyat. Karena Muhammadiyah sudah yakin dengan keyakinan ilmiah tersebut," katanya.
waullahu a"lam bihsawab
[has]
sumber kompas.com