Kamis, 31 Oktober 2013

Belajarlah di waktu muda



Kolom Mahasiswa

BelajarLah Diwaktu Muda
 

Belajar adalah suatu hal yang sangat melekat dengan dunia Mahasisiwa , sebagai mahasiswa kita selalu di tuntut untuk mampu sukses studi, sukses organisasi, setumpuk tugas yang selalu di berikan oleh dosen diharapkan sebagai suatu reaksi agar kita selalu dekat dengan Buku dan dunia akademis terkadang dosen memberikan kita sebuah tugas yang sangat banyak sampai sampai terkadang aku merasakan bahwa satu semester itu hanya sibuk untuk mengerjakan satu mata kuliah ehhehe.
Belajar merupakan suatu hal yang sejujurnya sangat membosankan pada umumnya kita selalu sibuk sendiri dan acuh tak acuh ketika sudah mau uts/uas baru kita SKS( Sistem Kebut Semalam) tugas yang menumpuk dan daftar mata kuliah yang perlu dihafal  Demi terciptanya Nilai IP yang baik dan memuaskan tapi tahukah kita semua jika kita melakukan belajar bukan dari hobi maka akan terasa menjadi beban maka INSYALLAH kita tidak akan sukses, semua itu berangkat dari Interest(keinginan) ,hobi, atau sebuah hal yang menyenangkan perlu kita ketahui bahwa Ilmu atau proses belajar tidak habis melalui jenjang formal , ilmu bukan hanya untuk ujian saja  .. . ..heheh itu adalah kata dosen KKK yang selalu mengingatkan kita bahwa belajar adalah proses untuk mengetahui lebih banyak  , semakin aku belajar semkain aku tauh akan kebodohanku itulah kata Imam As syafi"i yang selalu beliau ingatkan kepada kami mahasiswanya beliau mengingatkan supaya kita menjadi masyarakat pembelajar ,bukankah kita dititahkan oleh Junjungan kita nabi Muhammad S.A.W untuk selau belajar dari lahir sampai liang lahat konsep belajar (long live education).
idealnya kita umatnya sebagai tonggak yang melanjutkan ini , bukankah ilmu itu akan terus berlanjut sampai orangnya terkubur di tanah.
so apakah kita akan menjadi masyarakat pembelajar dengan belajar kita lebih banyak tauh adalah proses meluar biasakan diri melalui ilmu kita mengetahui dan membaca tanda tanda kebesaran ALLAH DAN semakin mendekatkan diri kita kepada Allah.

Surat yang pertama kali turun adalah surah al Iqro' atau surat Al 'Alaq adalah surat yang pertama kali diturunkan pada Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Surat tersebut adalah surat Makkiyyah. Di awal-awal surat berisi perintah bacalah, bacalah!
membaca. Yang dengan membaca dapat diketahui perintah dan larangan Allah. Jadi manusia bukanlah dicipta begitu saja di dunia, namun ia juga diperintah dan dilarang. Itulah urgensi membaca, maka

Allah Ta'ala berfirman,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
"Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al 'Alaq: 1-5).
BACALAH  ! ! ! BACALAH  ! !
SO masihkah kita bermalas Ria, pemuda adalah tonggak negara sungguh waktu yang diberi dengan tugas yang kita pegang sangatlahh sedikit ...dan Imam AS syafii mengingatkan kita barang siapa yang tidak belajar saat muda maka bacakan takbir empat kali atas kematianya.



Rabu, 30 Oktober 2013

pemuda

Seorang pemuda bercita-cita menjadi seorang ahli pidato yang handal. Cita-citanya ini membuat ia menjadi sangat bersemangat dalam belajar.

Meski ia bukan termasuk orang yang banyak menerima pendidikan formal, ia tetap rajin membaca buku-buku bermutu dan bertanya kepada orang yang dianggapnya lebhi ahli.

Ia juga sangat gemar berkunjung ke berbagai perpustakaan di kotanya untuk meminjam buku dan membacanya. Cita-cita untuk menjadi ahli pidato handal juga membuatnya rajin mendengarkan pidato orang lain.

Pada suatu malam ia pernah berjalan kaki sekitar 30 kilometer hanya untuk mendengarkan sebuah pidato. Saat tengah malam, dalam perjalanan pulang, ia menyusun kembali intisari pidato tadi. Intisari ini kemudian dijadikannya bahan untuk berlatih.

Untuk mengembangkan teknik dan daya tarik pidatonya, pemuda ini juga mengikuti sejumlah kursus dan seminar.
Dia juga tekun dalam berlatih dan senantiasa berupaya memperbaiki kesalahan-kesalahannya.

Bertahun-tahun kemudian ia menjadi seorang negarawan sekaligus ahli pidato yang sangat terkenal dan berpengaruh di dunia.

Tahukah Anda siapa orangnya?
Ia adalah Abraham Lincoln, seorang presiden Amerika yang luar biasa dan namanya dikenang sepanjang masa.

Moral:
1. Belajar dan teruslah belajar dengan cara apapun dan dimanapun, baik formal maupun informal.

2. Kembangkanlah dan teruslah kembangkan talenta kita, Tuhan sudah memberi talenta kepada kita, dan Tuhan ingin kita terus mengembangkannya dan bermanfaat bagi banyak orang.

3. Berjuanglah dan teruslah berjuang menggapai kesuksesan, sukses tidak hanya melulu berupa kekayaan dan uang. Tidak ada kesuksesan didapat tanpa perjuangan yang sungguh-sungguh.

4. Jangan malas, dan jangan pernah malas, teruslah berjuang karena sebentar lagi kesuksesan itu akan kita raih, jika kita tidak pernah menyerah.

NOTE: Sumber dicopy paste dari inspirasi daily, semoga bermanfaat, silakan dishare

Selasa, 29 Oktober 2013

Pondok Ban Tan dan Surin Pitsuwan

Pondok Ban Tan dan Surin Pitsuwan
Oleh: Anies Baswedan

Ya Nabi salam alaika…
Ya Rasul salam alaika…
Ya habibie salam alaika…
Shalawatullah alaika…

Sekitar seribu anak-anak menghampar di lapang rumput depan pondok. Lautan kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan menggema.

Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Untuk mencapainya, kita harus terbang dari Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat, lalu dari airport yang kecil itu, naik mobil kira-kira satu jam ke pedalaman.

Masuk di tengah-tengah desa-desa dan perkampungan umat Budha, di situ berdiri Pondok Ban Tan. Dibangun awal abad lalu dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, menjaga aqidah umat Islam yang tersebar di kampung-kampung yang mayoritas penduduknya beragama Budha.

Melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tuanya untuk sekolah ke Pondok, untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini mereka berdampingan dengan damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus.

Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah satu kegiatan puncak untuk keluarga pengasuh pondok ini.

Di awal tahun 1967 terjadi perdebatan panjang di antara para guru di Pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan beasiswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat. Pondok Ban Tan seakan goyah.

Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun 1960-an, cucu tertua pendiri Pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi Amerika?

Tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya: separuh takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka tidak ingin kehilangan anak cerdas itu.

Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu, mengatakan, “Saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan saya ikhlas jika dia berangkat”.

Ruang musyawarah di pondok itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.

Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu terjadi: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu terlempar ke orbit lain.

Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini.

Dia pulang sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah menteri luar negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menteri Luar Negeri (Menlu) di Negara berpenduduk mayoritas Budha.

Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; di kampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail. Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh bangunan Pondok ini nampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagai negara.

Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia untuk Pondok mungil di pedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya.

Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu “hadir” di sini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim Thailand di dunia.

Dia tidak pernah hilang seperti ditakutkan guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata kakeknya. Ketika bertemu pertama kali dengan Surin tahun 2006 yang lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan:isyhadu bi ana muslimin.

Ramadhan kemarin, saat kami makan malam – Ifthar bersama – di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization Network (AMRON) conference di Walailak University dan ingin mengundang saya ke pondoknya awal Oktober.

Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa SMS meyakinkan bahwa ke “Ban-Tan” lebih utama daripada ke “Ban-Dung”.

Saat duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya saya mengubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya sholat Isya’ berjamaah duduk di samping Surin, selesai sholat ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya.

Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan, mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata, dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand.

Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan dibuatkan panggung untuk menyambut. Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan kemahiran bercakap Melayu, Inggris, dan Arab. Sebagai puncak acara mereka tampilkan Leke Hulu (Dzikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni panggung. Seluruh santri ikut berdzikir, gemuruhnya menggetarkan dada.

Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi di Thailand khusus datang dari Songklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama di pondoknya. Kami ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya, karena garis wajahnya berbeda; dia jawab kakeknya dari Sumatera, tapi dia keturunan Hadramauth.

Hari itu saya bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini perjalanan luar biasa. Tapi dia belum puas, Surin panggil salah satu alumni pondoknya (seorang doktor ilmu managemen) untuk antarkan saya ke Masjid di kampung-kampung pesisir pantai untuk dikenalkan dengan Ustadz keturunan Minang.

Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat sederhana, saya sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang Madrasah yg dipimpinnya. Kami berdiskusi tentang suasana di sini, tentang Minang, dan tentang kemajuan.

Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto-foto orangtuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama.

Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dienul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh kedamaian.

Lengkap sudah perjalanan kali ini. Dalam satu rotasi ditemukan dengan komunitas yang kontras. Di Kuala Lumpur, berdialog dengan kalangan bisnis dan politik dalam ASEAN 100 Leadership Forum dengan suasana megah, di Thailand Selatan berdialog dengan kaum Muslim minoritas dengan suasana sederhana, sangat bersahaja.

Sekali lagi kita ditunjukkan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah, lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun jaringan, merajut masa depan.

Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya dan bagi umatnya.

Di airport kami berpisah. Saya pulang kampung ke Jakarta dan Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan ASEAN dalam ASEAN-European Summit.

Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan pada hari ini juga Ibunya masih tetap tinggal di pondok Ban Tan, sekitar 90 tahun, tetap mendoakan anaknya seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu.

Barakallahu lakum…Pondok Ban Tan dan Surin Pitsuwan
Oleh: Anies Baswedan

Ya Nabi salam alaika…
Ya Rasul salam alaika…
Ya habibie salam alaika…
Shalawatullah alaika…

Sekitar seribu anak-anak menghampar di lapang rumput depan pondok. Lautan kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan menggema.

Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Untuk mencapainya, kita harus terbang dari Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat, lalu dari airport yang kecil itu, naik mobil kira-kira satu jam ke pedalaman.

Masuk di tengah-tengah desa-desa dan perkampungan umat Budha, di situ berdiri Pondok Ban Tan. Dibangun awal abad lalu dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, menjaga aqidah umat Islam yang tersebar di kampung-kampung yang mayoritas penduduknya beragama Budha.

Melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tuanya untuk sekolah ke Pondok, untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini mereka berdampingan dengan damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus.

Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah satu kegiatan puncak untuk keluarga pengasuh pondok ini.

Di awal tahun 1967 terjadi perdebatan panjang di antara para guru di Pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan beasiswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat. Pondok Ban Tan seakan goyah.

Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun 1960-an, cucu tertua pendiri Pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi Amerika?

Tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya: separuh takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka tidak ingin kehilangan anak cerdas itu.

Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu, mengatakan, “Saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan saya ikhlas jika dia berangkat”.

Ruang musyawarah di pondok itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.

Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu terjadi: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu terlempar ke orbit lain.

Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini.

Dia pulang sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah menteri luar negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menteri Luar Negeri (Menlu) di Negara berpenduduk mayoritas Budha.

Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; di kampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail. Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh bangunan Pondok ini nampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagai negara.

Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia untuk Pondok mungil di pedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya.

Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu “hadir” di sini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim Thailand di dunia.

Dia tidak pernah hilang seperti ditakutkan guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata kakeknya. Ketika bertemu pertama kali dengan Surin tahun 2006 yang lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan:isyhadu bi ana muslimin.

Ramadhan kemarin, saat kami makan malam – Ifthar bersama – di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization Network (AMRON) conference di Walailak University dan ingin mengundang saya ke pondoknya awal Oktober.

Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa SMS meyakinkan bahwa ke “Ban-Tan” lebih utama daripada ke “Ban-Dung”.

Saat duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya saya mengubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya sholat Isya’ berjamaah duduk di samping Surin, selesai sholat ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya.

Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan, mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata, dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand.

Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan dibuatkan panggung untuk menyambut. Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan kemahiran bercakap Melayu, Inggris, dan Arab. Sebagai puncak acara mereka tampilkan Leke Hulu (Dzikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni panggung. Seluruh santri ikut berdzikir, gemuruhnya menggetarkan dada.

Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi di Thailand khusus datang dari Songklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama di pondoknya. Kami ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya, karena garis wajahnya berbeda; dia jawab kakeknya dari Sumatera, tapi dia keturunan Hadramauth.

Hari itu saya bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini perjalanan luar biasa. Tapi dia belum puas, Surin panggil salah satu alumni pondoknya (seorang doktor ilmu managemen) untuk antarkan saya ke Masjid di kampung-kampung pesisir pantai untuk dikenalkan dengan Ustadz keturunan Minang.

Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat sederhana, saya sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang Madrasah yg dipimpinnya. Kami berdiskusi tentang suasana di sini, tentang Minang, dan tentang kemajuan.

Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto-foto orangtuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama.

Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dienul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh kedamaian.

Lengkap sudah perjalanan kali ini. Dalam satu rotasi ditemukan dengan komunitas yang kontras. Di Kuala Lumpur, berdialog dengan kalangan bisnis dan politik dalam ASEAN 100 Leadership Forum dengan suasana megah, di Thailand Selatan berdialog dengan kaum Muslim minoritas dengan suasana sederhana, sangat bersahaja.

Sekali lagi kita ditunjukkan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah, lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun jaringan, merajut masa depan.

Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya dan bagi umatnya.

Di airport kami berpisah. Saya pulang kampung ke Jakarta dan Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan ASEAN dalam ASEAN-European Summit.

Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan pada hari ini juga Ibunya masih tetap tinggal di pondok Ban Tan, sekitar 90 tahun, tetap mendoakan anaknya seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu.

Barakallahu lakum…
@Roby karman(fb)
 

Selasa, 22 Oktober 2013

KH Ahmad Dahlan dan Semangat Bershadaqah


Kejadiannya kira-kira di sekitar tahun 1921. Suatu siang KH Ahmad Dahlan memukul kentongan mengundang penduduk Kauman ke rumahnya. Penduduk Kauman berduyun-duyun ke rumahnya.
Setelah banyak orang berkumpul di rumahnya, KH Ahmad Dahlan pidato yang isinya menyatakan bahwa kas Muhammadiyah kosong. Sementara guru-guru Muhammadiyah belum digaji. Muhammadiyah memerlukan uang kira-kira 500 Gulden (mata uang zaman penjajahan Belanda) untuk menggaji guru, karyawan dan membiayai sekolah Muhammadiyah.
Karena itu KH Ahmad Dahlan menyatakan melelang seluruh barang-barang yang ada di rumahnya: pakaian, almari, meja kursi, tempat-tempat tidur, jam dinding, jam berdiri, lampu-lampu dan lain-lain. KH Ahmad Dahlan melelang semua barang-barang miliknya itu dan uang hasil lelang itu seluruhnya akan dipakai untuk membiayai sekolah Muhammadiyah, khususnya untuk menggaji guru dan karyawan.
Para penduduk Kauman itu terbengong-bengong setelah mendengar penjelasan KH Ahmad Dahlan.
Murid-murid KH Ahmad Dahlan yang ikut pada pengajian Thaharatul Qulub (Pensucian Hati) sama terharu melihat semangat pengorbanan KH Ahmad Dahlan, dan mereka saling berpandangan satu sama lain, berbisik-bisik satu sama lain. Singkat cerita, penduduk Kauman itu khususnya para juragan yang menjadi anggota kelompok pengajian Thaharatul Qulub itu, kemudian berebut membeli barang-barang KH Ahmad Dahlan.
Ada yang membeli jasnya, ada yang membeli sarungnya, ada yang membeli jamnya, almari, meja kursi, dan sebagainya. Dalam waktu singkat semua barang milik KH Ahmad Dahlan itu habis terlelang dan terkumpul uang lebih dari 4.000 Gulden.
Anehnya, setelah selesai lelangan itu tidak ada seorang pun yang membawa arang-barang KH Ahmad Dahlan. Mereka lalu sama pamit mau pulang.
Tentu saja KH Ahmad Dahlan heran, mengapa mereka tidak mau membawa barang-barang yang sudah dilelang.
KH Ahmad Dahlan berseru, “Saudara-saudara, silahkan barang-barang yang sudah sampeyan lelang itu saudara bawa pulang! Atau nanti saya antar?”
Jawab mereka, “Tidak usah Kyai. Barang-barang itu biar di sini saja, semua kami kembalikan pada Kyai.”
“Lalu uang yang terkumpul ini bagaimana?“ tanya KH Ahmad Dahlan.
Kata salah seorang dari mereka, “Ya untuk Muhammadiyah. Kan Kyai tadi mengatakan Muhammadiyah perlu dana untuk menggaji guru, karyawan, dan membiayai sekolahnya?”
“Ya, tapi kebutuhan Muhammadiyah hanya sekitar 500 Gulden, ini dana yang terkumpul lebih dari 4000 Gulden. Lalu sisanya bagaimana?” tanyanya.
“Ya biar dimasukkan saja ke kas Muhammadiyah,” pungkas mereka.
dikutip dari fimadani.com

Senin, 14 Oktober 2013

KEMBALI KITA DIHENTAK ORANG2 YANG KITA ANGGAP MISKIN TAPI MAMPU BERQURBAN

KEMBALI KITA DIHENTAK ORANG2 YANG KITA ANGGAP MISKIN TAPI MAMPU BERQURBAN

Jika dulu tersiar kabar mengenai pemulung yang berkurban kambing, hari ini saya mendengar tukang becak berqurban sapi .. dimanakah kita ?

TRIBUNNEWS.COM,PASURUAN - Seorang tukang becak asal Pasuruan bernama Bambang (51), berkurban seekor sapi seharga Rp 13.000.000.
Warga jalan Pucangan no 9 RT 4 RW 4, Kelurahan Purworejo, Kecamatan Purworejo, ini mengaku mengumpulkan uang selama lebih dari lima tahun, hingga akhirnya dia bisa membeli seekor sapi.

Ada yang cukup unik cara Bambang menyimpan uang. Pria yang mengaku sudah bekerja menjadi penarik becak sejak masih muda ini, tak pernah menyimpan uangnya di bank.

Selama ini, dia menyimpan uangnya di bawah tempat duduk atau jok becaknya.
Alasannya, dia merasa lebih aman menyimpan di jok becaknya.Sebab, dengan begitu dia dapat memantau uangnya setiap saat.
"Kalau di bank takut kena rampok, kalau di jok kan tersamar," kata Bambang dengan polos, saat ditemui Suryaonline (Tribunnews.com Network)Senin (14/10/2013) siang di rumahnya.

Tepat, di bawah jok becaknya, terdapat kotak dengan lubang kecil untuk memasukan uang. Uang kertas hasil dari menarik becak, ia gulung hingga menyerupai sebatang rokok kemudian, dia masukan ke dalam lubang itu.

Saat pulang ke rumah, ia melepas jok tersebut, dan ia simpan di dalam rumah. Terkadang, apabila dia membutuhkan uang dia terpaksa membuka kotak kayu itu dengan obeng, kemudian dia pasang kembali.

"Kadang kalau butuh uang untuk bayar sekolah atau uang belanja istri, ya saya congkel pakai obeng. Trus saya lem kembali," kata ayah satu orang anak ini.
Selama ini dia tak pernah menghitung uang yang dia masukan dalam celengan pribdinya itu. Dia juga mengaku tak menyangka, uang yang dia kumpulkan mencapai Rp 13.000.000.

"Saya masukan saja, kadang Rp 1000, kadang Rp 50.000, kadang Rp 100.000, nggak pasti. Kemarin dibuka ternyata pas Rp 13.000.000," terangnya.
Ia mengatakan, kurban pada tahun ini, bukanlah kurban yang pertama. Bambang mengaku, sudah tiga kali berkurban, yang pertama dia berkurban seekor kambing, dan tepat pada 2012, tahun lalu dia berkurban dua ekor kambing.

Kedepan, jika diberi umur dan kesehatan, Bambang mengatakan akan berkuban sapi kembali. Sebenarnya, dia juga mempunyai cita-cita naik haji, hanya saja dia takut karena tidak bisa membaca dan menulis.

Sementara itu, Takmir Masjid Al-Iklhas RT 04 RW 04 , Kelurahan Purworejo, Kecamatan Purworejo, Nursalim Jamil mengatakan, di kampung tersebut, hanya satu warga yang berkurban sapi.

"Kalau di RT 04, ya cuma Pak Bambang saja yang berkurban sapi," kata Jamil.
Jamil menambahkan, rencananya, sapi yang dikurbankan oleh Bambang, akan dirias dan diarak, setelah sholat Ied sebelum disembelih.

Tujuannya, kata Jamil, sapi tersebut diarak dengan maksud sebagai syiar, agar masyarakat sekitar terinspirasi dan termotivasi untuk berkurban.

*Bambang menyerahkan sapi kurbannya kepada takmir masjid Al-Iklhas RT 04 RW 04 , Kelurahan Purworejo, Kecamatan Purworejo.